Bapak KH. Muhadi Zainuddin, Kiai Pertama Saya
Kabar Duka Sepulang Kerja
Jumat, 30 Agustus 2019. Seorang teman mengirim pesan WhatsApp.
“Mas, ke pondok enggak?”
“Ke pondok gimana maksudnya?” Saya bertanya balik.
Saya kebingungan, karena seminggu sebelumnya saya baru saja pamit dari pondok pesantren. Saya pun merasa enggak ada janji atau acara di pondok.
“Pak Kiai mas…” Jawab teman saya singkat, tanpa ada penjelasan sama sekali.
Deg.
Dada saya mendadak seperti ada yang memukul. Sebuah pesan tanpa penjelasan dengan beberapa titik pada akhirannya bukanlah sesuatu yang menyenangkan.
Selama beberapa menit saya belum bisa membalas pesan dan bertanya balik ada apa dengan Pak Kiai. Pikiran saya terbang ke mana-mana. Menebak-nebak apa yang terjadi pada Pak Kiai.
Saya panik, sambil berharap apa yang terbesit dalam pikiran enggak benar-benar terjadi. Saya langsung membuka grup pesantren, hasilnya nihil. Enggak ada informasi sama sekali.
Saya telpon beberapa teman saya selama di pondok. Sama sekali enggak ada yang menjawab. Kemudian muncul notifikasi pesan di grup santri, kalau Kiai kami, KH. Muhadi Zainuddin, telah meninggal dunia.
“Innalillahi…” Saya lekas membalas pesan teman saya, yang tadi belum sempat saya balas. Setelah itu, saya hanya bisa melamun. Mencoba mencerna kabar mengejutkan yang baru saya dengar.
Selepas isya. Saya bergegas ke pondok pesantren yang berada di daerah Krapyak, Bantul. Perjalanan memakan waktu sekitar 30menit. Selama di perjalanan, pikiran saya penuh dengan ingatan tentang Kiai Muhadi.
Dari luar, saya terlihat biasa saja dengan helm hitam dan setengah wajah tertutup masker. Padahal aslinya, badan saya gemetar. Masker saya basah karena saya tidak kuat untuk tidak menangis.
Begitu sampai di pondok, beberapa orang Banser terlihat sibuk mengatur tempat parkir dan orang-orang yang baru saja datang. Suasana sangat haru. Ratusan orang berdatangan, berduka atas kepulangan Sang Kiai.
Saya menyapa teman-teman saya di pondok. Kemudian saya tahu, mereka sibuk menyiapkan kursi, tenda dan yang lainnya untuk para pelayat yang akan berdatangan, sehingga enggak sempat mengangkat telpon saya. Sebagian besar mata mereka merah — terlihat jelas semua merasakan kehilangan — dan tidak banyak bicara ketika berkumpul. Suasana di pondok pesantren tidak pernah sedingin ini.
Saya menyalami dan mencium tangan ustaz-ustaz saya selama di pondok. Kemudian saya ikut melaksanakan salat jenazah. Bentuk penghormatan terakhir manusia yang sebaik-baiknya kepada mereka yang pernah hidup.
Ribuan Manusia Mengantarkan Teladan yang Berpulang
Keesokan harinya, pemakaman baru akan dilangsungkan.
Suasana pondok sudah sangat ramai. Jauh lebih ramai daripada malam sebelumnya. Puluhan rangkaian bunga dengan ucapan bela sungkawa menghiasi dinding-dinding di wilayah pondok.
Para kiai besar dan ustaz dari banyak pondok pesantren, alumni santri dan masyarakat sekitar terus-menerus berdatangan.
Upacara pemakaman sedikit terlambat dari jadwal yang seharusnya, karena masih banyak orang yang ingin melaksanakan salat jenazah. Sampai pada akhirnya pemakaman mau dilangsungkan, orang-orang merapat ke liang makam yang sudah disiapkan. Lantunan surat al-Ikhlas dikumandangkan. Semua mengikuti. Suasana kembali haru, air mata saya kembali menetes.
Panas yang menyengat dan keringat yang mulai bercucuran, sama sekali tidak meruntuhkan keinginan untuk melihat pemakaman dari jarak dekat. Semua ingin mengantarkan seorang teladan yang saleh, ke tempat peristirahatan yang sebaik-baiknya.
Selepas upacara pemakaman selesai. Tahlilan langsung digelar di sekitar makam yang masih basah dan penuh taburan bunga yang masih segar. Allahuyarham.
Pamit Boyong dan Wejangan Terakhir
Kurang lebih seminggu sebelumnya, saya bertamu ke ‘dalem’ beliau saat sore hari.
“Assalamualaikum…” Saya mengucap salam di depan pintu rumah beliau.
Tidak berselang lama Pak Muhadi ke luar dan mendatangi saya.
“Eh van, ada apa?” Beliau menyapa dengan ramah, sambil mempersilakan saya duduk.
Sore itu saya menjelaskan pada beliau maksud saya bertamu. Saya hendak boyong alias pamit dari pondok pesantren. Beliau heran dan mencoba meyakinkan saya untuk terus belajar. Karena saya baru sekitar dua setengah tahun di sana, normalnya santri dikatakan selesai belajar di sana setelah mengaji selama empat tahun.
“Yasudah kalau emang mau boyong, tapi coba dipikir-pikir lagi, karena sayang, di sini kamu bisa mengaji, banyak barokah yang tidak bisa kamu dapatkan di luar.” Ucap beliau.
Saya memahami kekhawatiran beliau. Namun, kepadatan aktivitas saya di antara kerja, kuliah dan mengaji, lama-lama membuat fisik saya semakin kelelahan dan tidak maksimal dalam beraktivitas. Saya pun menjelaskan dan dengan berat hati harus mengorbankan pondok pesantren. Ditambah saya juga sedang mengejar beasiswa, jadi tidak memungkinkan untuk mengaji secara efektif.
Pernah suatu waktu ketika sedang mengaji ba’da magrib yang diajar langsung oleh beliau. Bapak Muhadi sedang menjelaskan pentingnya belajar.
Tiba-tiba beliau berkata,
“Saya bangga sama salah satu santri, Ivan Pamuji, mana orangnya ada ga?” Beliau mencari saya di antara santri-santri yang dengan takzim mendengarkan beliau.
Kebetulan saya duduk paling belakang dan banyak santri menengok ke arah saya. Saya hanya tersenyum malu, tidak menyangka Bapak Muhadi akan berbicara seperti itu.
“Dia bisa ngaji, kuliah juga kerja. Harus dicontoh itu, bagus.” Ujar beliau kepada para santri.
Saya hanya menunduk, di dalam hati tersanjung dan haru dipuji dan dibanggakan oleh Kiai saya sendiri.
“Kalau emang udah memutuskan mau boyong. Bapak cuman mau titip, jangan lupakan agama. Kamu boleh fokus kerja, kuliah. Tapi jangan pernah sekali-kali meninggalkan yang namanya agama. Percuma, sekalipun kamu nanti sukses, hatimu kosong, enggak tenang, enggak seimbang.
“Harus seimbang antara dunia dan juga akhirat.” Lanjutnya.
“Nggih, Pak.” Jawab saya.
“Saya doakan kamu sukses dunia akhirat. Sesekali main-main ke pondok, lebaran juga jangan lupa main ke rumah, boleh loh kalau kamu mau belikan baju.” Ujar beliau sambil terkekeh.
“Siap, pak. Nanti saya lebaran ke sini dan saya bawakan baju. Hehehe.”
“Mau boyong kapan?” Tanya beliau.
“Nanti malam, Pak. Sama saya sekalian mau meminta amalan Pak.”
“Amalan untuk apa? Mencari istri?” Tanya beliau sambil tersenyum.
“Enggak, pak. Kalau itu belum waktunya. Mau minta amalan buat sukses belajar dan rezeki, Pak.”
“Ohiya. Saya tanya dulu, yakin kuat?”
“Insyaallah dicoba, Pak.”
“Yasudah dicatat.”
“Dibaca 700 kali setelah salat tahajud, jangan lupa salat witir dan salat hajatnya.” Sambung beliau.
“Baik, Pak. Makasih banyak.”
“Yasudah kalau begitu.”
“Sama mau minta foto Pak, buat kenang-kenangan, hehe.”
Beliau menyanggupi, saya lalu bersimpuh di lantai.
“Ngapain kamu, di sini aja duduk pinggir saya engga apa-apa.”
Saya pun manut dan duduk di samping beliau. Selesai berfoto, saya mencium tangan beliau dan pamit. Hari itu saya menanggalkan status kesantrian saya di Pondok Pesantren Al-Muhsin. Secara administrasi saya tidak lagi menjadi santri.
Namun tidak ada yang namanya mantan santri, saya akan selalu menjadi murid dan santri beliau. Bapak Muhadi juga akan selalu menjadi kiai sekaligus sosok ayah bagi saya, yang telah banyak berjasa memberikan ilmu dan juga petuah-petuah kehidupan bagi para santrinya.
Seminggu kemudian, Allah berkehendak lain dan memanggil salah satu hamba terbaiknya, yang mungkin sudah Ia rindukan sejak lama.
Sungguh, sore itu sama sekali tidak ada tanda-tanda akan kepergian beliau. Beliau nampak segar dan sehat seperti biasa.
Andai saya tahu pada saat itu adalah pertemuan terakhir saya dengannya. Saya akan mencium tangannya lebih lama, mencium kaki dan bahkan memeluknya.
Saat ini Bapak Muhadi sudah berada di tempat yang sebaik-baiknya, di samping-Nya yang selalu beliau hadirkan dalam doa, ibadah dan teladan sehari-harinya. Bersama Rasul yang selalu engkau rindukan dan kau panggil namanya, tidak hanya siang dan malam, bahkan saat kami para santri masih pulas tertidur jam 3 pagi. Bapak selalu bershalawat.
Kemarin malam, tepat 100 hari kepergian KH. Muhadi Zainuddin.
Pak, jasadmu boleh tiada. Namun ruh dan semangat kebaikan yang Bapak ajarkan akan kami upayakan agar terus hidup, mengalir dari generasi ke generasi. Ilmu agama akan kami dalami dan amalkan demi kebaikan, agar hidup kami di dunia ini tidak sia-sia. Doakan kami dari sana, agar bisa meneruskan estafet kebaikan yang bapak ajarkan.
Mautul ‘alim, mautul alam.
Al fatihah.