Enggak Ada Salahnya Menggugat Keputusan Konservatif Orang Tua

Ivan Pamuji
3 min readMar 17, 2020

--

Negara-negara di Asia Tenggara sepertinya masih didominasi oleh pola pikir orang tua yang konservatif, pengaruh tradisi budaya yang berlangsung turun-temurun sejak dulu. Tidak terkecuali orang tua saya.

Bulan kemarin, saya resmi menjadi seorang paman. Kakak perempuan saya baru saja melahirkan seorang bayi perempuan yang lucu, Jingga Dipusti Humaira, ia diberi nama.

Ketika tengah berbincang, Kakak saya menyebutkan kalau sebentar lagi, Rara — nama panggilan Jingga — akan dikhitan. Saya terkejut dan mengingat tentang female genital mutilation atau FGM yang pernah saya baca.

Khitan perempuan atau FGM adalah prosedur pemotongan sebagian atau keseluruhan bagian-bagian tertentu dari genital perempuan. Celakanya, praktik yang telah dilakukan khususnya di negara-negara Asia dan Afrika ini, sama sekali tidak memiliki manfaat medis sama sekali.

Sebaliknya, praktik ini yang ada malah menimbulkan trauma fisik dan juga psikologi seumur hidup. 200 juta perempuan hari ini pernah melakukan FGM dan akan ada 68 juta perempuan lain yang melakukan hal serupa sampai tahun 2030.

Mengutip situs WHO, khitan perempuan atau FGM punya beberapa dampak negatif:
- Bisa menyebabkan pendarahan, demam, infeksi, luka, cedera pada jaringan genital, trauma, gangguan saluran kencing, potensi mengidap kista, komplikasi melahirkan sampai meningkatnya peluang meninggal bayi yang baru lahir.
- Dampak negatif berlangsung dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
- FGM merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
- WHO melarang dan menentang segala bentuk praktik FGM.

Itu hanya sebagian kecil dan masih banyak dampak negatif lain dari praktik ini, itu pula yang membuat saya bersikukuh agar praktik ini tidak lagi dilangsungkan di keluarga saya.

“Gimana mamah aja,” ucap Kakak saya pasrah.

Saya pun melobi orang tua cukup tegas, segala penjelasan saya berikan, baik itu sudut pandang medis, agama, maupun dasar hukumnya.

Karena masih bergeming, saya pun menegaskan, boleh saja Kakak anak saya dikhitan, tapi itu jadi tanggung jawab Mamah kalau terjadi apa-apa. Saya enggak mau tanggung jawab, yang penting sudah memberi tahu. Saya juga bilang, kalau nanti saya punya anak perempuan, saya tidak akan melakukan khitan dan orang tua saya jangan ikut campur.

“Orang tua dari dulu juga ngelakuin ini,” Mamah saya bersikukuh.

Saya bilang enggak, jangan melakukan sesuatu yang enggak ada dasarnya, orang tua zaman dulu bukan dokter, apalagi WHO juga sudah melarang praktik itu.

Beruntungnya, sekalipun orang tua saya konservatif, mereka cukup terbuka akan ide-ide baru yang lebih ilmiah. Akhirnya Mamah saya melunak, iya menyerahkan keputusannya ke Kakak saya yang tentu saja lebih mudah saya beri informasi.

Saya merasa punya tanggung jawab karena mengetahui apa yang benar dan lebih baik. Jangan biarkan praktik yang salah sejak zaman dulu, dilanggengkan terus-menerus.

Selama kita merasa benar, enggak ada salahnya menggugat keputusan konservatif orang tua kita.

--

--